Kesiapan Naluriah Penerjemah Tersumpah

Jasa Penerjemah

Penerjemah mungkin siap bertindak secara naluriah, tetapi kesiapan naluriah itu belum diarahkan dengan pengalaman hidup sehingga masih belum jelas dan tidak terarah. Pengalaman hidup sangat berpengaruh di sini. Pengalaman terjadi langsung di depan mata dan harus dihadapi, namun tetap saja masih terlalu samar dan tidak terarah karena keserba-ragamnya (multiplicity). Hanya jika kecenderungan untuk bertindak ini diperkaya dan dilengkapi dengan pengalaman, dan pengalaman diarahkan dan diatur dengan kecenderungan naluriah untuk bertindak, maka keduanya diarahkan kembali (sublimated) bersama-sama sebagai kebiasaan (habit), suatu kesiapan untuk melakukan hal-hal spesifik dalam kondisi yang spesifik-menerjemahkan teks-teks tertentu dengan cara tertentu, misalnya. Penerjemah yang memiliki komunitas sesama penerjemah meski di lingkungan kecil lembaga jasa penerjemah bahasa, tetap akan mempermudah para penerjemah untuk meningkatkan kestabilan naluri.

Proses penerjemahan menurut ketiga istilah ahli bahasa dapat diringkas secara sederhana seperti berikut: penerjemah mulai dengan pemahaman intuitif dan naluriah tanpa membuat persiapan lebih dahulu tentang arti kata atau frasa, fungsi struktur sintaksis kalimat dalam suatu bahasa sumber atau bahasa sasaran (naluri); dilanjutkan dengan mengalihbahasakan kata dan frasa, berpindah-pindah di antara kedua bahasa, merasakan persamaan dan perbedaan di antara kata, frasa, dan struktur (pengalaman); dan secara bertahap, akhirnya mengarahkan kembali so lusi-solusi spesifik untuk masalah-masalah eksperiensial spesifik menjadi pola perilaku yang berlangsung relatif tan pa disadari (kebiasaan).

Pola perilaku membantu penerjemah menerjemah lebih cepat dan efektif, mengurangi kebutuhan untuk berhenti, dan memecahkan masalah-ma salah sulit. Karena masalah dan solusinya menjadi bagian tetap dari kebiasaan, dan khususnya karena setiap masa lah yang mengganggu proses pembentukan kebiasaan itu sendiri segera dijadikan kebiasaan, lama-kelamaan penerjemah semakin sedikit memperhatikan proses pemecahan masalah (problem-solving process), lebih kompeten dan nyaman dengan semakin beragamnya teks sumber, dan akhirnya mulai menganggap dirinya sebagai seorang profesional. Namun, sebagian dari kompetensi profesional itu tetap berupa kemampuan untuk melepaskan proses kebiasaan sewaktu-waktu bila diperlukan, serta merasakan teks dan dunia ini dengan sepenuh, sesadar, dan seanalitis yang diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah sulit.

Abduksi, induksi, deduksi

Pengalaman penerjemah tentu saja jauh lebih rumit daripada sekedar aktivitas mengalihbahasakan. Untuk memperluas pemahaman penerjemah tentang segala sesuatu yang terlibat dalam pengalaman penerjemah, ada baiknya untuk meminjam satu lagi tiga-serangkai milik Peirce, yaitu abduksi, induksi, dan deduksi. Anda akan mengenali dua hal yang disebut terakhir sebagai istilah-istilah untuk jenis penalaran logika. Induksi dimulai dengan hal-hal khusus yang menuju hal-hal umum; deduksi dimulai dengan prin sip-prinsip umum dan menyimpulkan detail-detail khusus darinya. “Abduksi (abduction)” adalah istilah ciptaan Peirce yang terlahir dari pemahamannya bahwa induksi dan deduksi saja tidaklah memadai.

Induksi dan deduksi tak hanya dibatasi oleh salah satu sama lain atau dualisme yang mendasari pemahaman keduanya-yang selalu di anggap buruk oleh Peirce, tetapi juga dibatasi oleh fakta bahwa baik induksi maupun deduksi tidak mampu meng hasilkan gagasan-gagasan baru sendiri. Oleh sebab itu, kedua cara itu tetap tidak kreatif dan tidak produktif. Keduanya harus disuapi materi dasar agar bisa berfungsi, yaitu fakta-fakta khusus untuk induksi dan prinsip-prinsip umum untuk deduksi. Logika dualistis yang hanya mengakui kedua cara penalaran ini tidak pernah menerangkan asal-usul datangnya materi tersebut.

Karena itu, Peirce mengajukan proses logika ketiga yang dinamakannya abduksi (abduction). Abduksi adalah tindakan melakukan lompatan intuitif (intuitive leap) dari data yang belum jelas menjadi sebuah hipotesis. Dengan sedikit atau tidak ada petunjuk sama sekali untuk meneruskan, bahkan tanpa benar-benar mengerti data yang sedang dihipotesiskan, seorang pemikir membuat suatu hipotesis yang rasa-rasanya benar secara intuitif atau naluriah (tahap pertama). Selanjutnya, hipotesis itu masih harus diuji secara induktif (tahap kedua), dan akhirnya digeneralisasikan secara deduktif (tahap ketiga).

Maka, dengan menggunakan ketiga pendekatan ini untuk mengolah pengalaman, Penerjemah bisa mulai mengembangkan bagian tengah yang terletak di antara pergerakan penerjemah dari naluri yang tidak terlatih melewati pengalaman menjadi kebiasaan. Penerjemah yang mengelola lembaga penyedia jasa penerjemah naluri akan mengalamati pengayaan dari sisi pengetahuan management, satu sisi menjadi bagian yang harus dipikirkan dan satu sisi membuat penerjemah semakin memahami variabel dan istilah-istilah management.

 

Leave a Comment